Senin, 29 Juli 2013

4 KENIKMATAN IBADAH BULAN RAMADHAN

Abu Hurairah RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Segolongan umatku akan masuk surga sebanyak 70 ribu yang wajah mereka bersinar bagaikan rembulan.’ Maka, berdirilah Ukasyah bin Muhshin al-Asady seraya mengangkat tangan lalu berkata, ‘Doakan untukku Ya Rasulullah agar aku termasuk golongan mereka.’

Lalu Rasulullah berdoa, ‘Ya Allah, jadikanlah dia dari golongan ini.’ Lalu, seorang dari golongan Anshar berdiri dan berkata, ‘Ya Rasulallah, doakan agar aku termasuk golongan mereka juga.’ Rasulullah bersabda, ‘Engkau telah didahului Ukasyah.’” (HR al-Bukhari, lihat as-Sunan al-kubra karangan al-Baihaqi, juz X, hlm 139).

Hal yang menarik dari hadis ini dalam konteks Ramadhan adalah kesempatan Ukasyah yang dimasukkan dalam segolongan umat yang masuk surga dengan wajah yang bersinar bagaikan rembulan atau golongan yang masuk surga tanpa hisab. Sedangkan, orang Anshar yang minta didoakan setelah Ukasyah ditolak Rasul dengan bahasa yang halus karena kesempatan emas sudah diambil Ukasyah.

Kesempatan emas adalah salah satu faktor penting bagi manusia untuk menggapai kesukesan dalam hidup di dunia dan juga akhirat. Boleh jadi seorang akan menyesal selamanya karena tidak segera menggunakan peluang emas.

Betapa banyak manusia gagal karena tidak menggunakan kesempatan yang melewatinya. Ramadhan adalah bulan istimewa di mana Allah memberikan peluang banyak untuk mencapai derajat tinggi di dunia dan di surga kelak.

Di antara kesempatan emas itu, pertama, kesempatan untuk diampuni dosa-dosanya yang terdahulu melalui puasa Ramadhan. Qiyam Ramadhan dan qiyam pada Lailatul Qadar bila dilakukan dengan dasar imaanan wa ihtisaaban. (HR an-Nasa’i, no 2503 dan 2504).

Dan, setiap hari malakat-malaikat memintakan ampunan bagi mereka saat berpuasa sampai berbuka orang-orang puasa diampuni dosa-dosa mereka pada malam terakhir bulan Ramadhan. (HR Ahmad, al-Bazzar, al-Baihaqi).

Kedua, kesempatan untuk dilipatgandakannya amal-amal kita, termasuk beribadah pada malam Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik dari 1000 bulan. Ketiga, peluang untuk mendapatkan doa-doa mustajab. “Orang yang berpuasa saat berbukanya memiliki doa mustajab yang tidak akan ditolak.” (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi). Lihat juga QS al-Baqarah [2]: 186).

Keempat, peluang untuk mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan saat berbuka dan kesenangan saat berjumpa dengan Allah. (HR at-Tirmizi). Kelima, peluang  untuk mendapatkan surga melalui puasa. “Bagi orang berpuasa pintu di surga yang disebut ar- Rayyan yang tidak dimasuki kecuali oleh mereka bila yang terakhir sudah masuk, maka pintu akan ditutup.” (HR an-Nasa’i).

Di sana masih banyak peluang bagi umat Islam pada bulan Ramadhan ini untuk menggapai kesuksesan dunia dan akhirat tanpa batas. Sungguh Ramadhan adalah bulan agung penuh berkah. Barang siapa yang tidak menggunakan peluang emas di dalamnya pasti akan menyesal selama-lamanya.

“Ya Allah jadikanlah kami orang yang memaksimalkan Ramadhan untuk menggapai rahmat-Mu, ampunan-Mu, dan dilepaskan dari siksa neraka.” Amin.

Sabtu, 27 Juli 2013

Mutiara Hadits

Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya (HR. Muslim, No. 2588)

Pendakian Spiritual

Seorang Sufi termashur dengan konsep Mahabbah (cinta Ilahi), Rabi’ah al-‘Adawiyah (713-801 M) pernah bermunajat dalam keheningan malam : “Ya Allah, jika aku mengabdi kepadaMu karena takut neraka, maka campakkanlah aku ke dalamnya. Jika aku mengabdi kepadaMu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku darinya. Tetapi, jika aku mengabdi kepadaMu semata-mata karena mencintaiMu, maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dariku “.

Bulan Ramadhan adalah momentum terbaik untuk meraih kenikmatan ibadah kepada Allah SWT, baik ibadah ritual (mahdhah), seperti shalat, puasa, zakat, baca al-Qur’an, zikir, i’tikaf dan lain-lain, maupun ibadah sosial (mu’amalah), seperti sedekah, menyediakan hidangan berbuka, berbagi dan membiayai pendidikan yatim dhuafa, membangun sekolah, masjid dan lain-lain.

Namun harus diakui, betapa sulitnya merasakan  nikmatinya beribadah dan beramal saleh. Ibadah yang didasari cinta dan rindu kepada Allah, sehingga hati senang dan nikmat menjalankannya.
Untuk meraih kenikmatan ibadah itu, kita harus menempuh tangga pendakian spritual yang saya formulasikan dalam rumus tiga TER.

Pertama, TER-Paksa. Ketika memilih jalan hidup Islam dengan ber-syahadat, maka kita telah menjadi mukallaf (orang yang dibebani tanggung jawab syariat) yakni menjalankan segala perintah (wajib dan sunnah) dan menjauhi larangan (haram dan makruh).

Menjalankan syariat itu berat, tapi harus dilakukan. Berat mendirikan shalat (2:43), puasa (:183), bayar zakat (2:110), haji (22:27), berbakti kepada orang tua (17:23), berinfak kepada kaum kerabat dan yatim dhuafa (2:215) dengan harta yang disenangi (4:92,29:8-9) dan seterusnya.

Tapi karena kewajiban harus dilakukan meski Ter-paksa. Jangan menunggu ikhlas dulu baru dikerjakan. Jika belum ikhlas lakukan lagi, jangan berhenti hingga ia tumbuh dalam hati. Orang yang melakukan sesuatu karena Ter-paksa akan tampak pada raut wajah, fisik dan sikapnya. 

Beribadah dan bekerja dalam keadaan Ter-paksa, akan terlihat ekspresi wajah yang tegang dan risau. Misalnya, karena takut lapar dan haus di siang hari, lalu makan dan minum berlebihan di waktu sahur.

Menunggu berbuka puasa dengan ngabuburit agar lapar dan dahaga tidak terasa. Waktu maghrib terasa lama dan jam tangan pun selalu dilirik.
Begitu adzan berkumandang, hidangan ta’jil langsung dilibas tanpa kompromi. Ketika Ramadhan akan berakhir, senangnya bukan main, seakan lepas dari beban yang menyiksa.

Ibadah yang dilakukan dengan Ter-paksa, tidak akan membekas dan bermakna dalam hidup keseharian, kecuali sekadar gugur kewajiban dan simbolik semata. Hambar, seperti sayur tak bergaram dan lalap tak bersambal.

Kedua, TER-Biasa. Meskipun menjalankan syariat itu berat, tapi terus lakukan dan jangan pernah berhenti dalam kondisi Ter-paksa. Seiring waktu akan naik pada tangga spritual berikutnya, yakni Ter-biasa. 

Jika di tangga Ter-paksa beban terasa sangat berat, terburu-buru dan asal jadi, maka ketika Ter-biasa akan lebih ringan dan menerima apa adanya. Berat sekali bangun di tengah malam untuk shalat tahajjud dan sahur misalnya, tapi karena dipaksakan jadi Ter-biasa.

Begitu juga mengeluarkan sedekah (infak),  awalnya Ter-paksa apalagi dalam jumlah besar, tidak apa-apa. Namun, jika terus dilakukan akan Ter-biasa. Begitu pun bangun shubuh dan berangkat ke Masjid,  kalau dipaksakan akan Ter-biasa. Jika sudah Ter-biasa, maka akan lebih ringan dan mudah dikakukan, karena sudah menjadi kebiasaan (mudawamah).

Nabi SAW. pernah ditanya, tentang amal yang paling disukai Allah SWT. Lalu Beliau menjawab : “adwaamuha wa inqolla” (terus menerus meski sedikit), (HR. Muslim). Oleh karena itu, jangan sampai membiasakan diri dengan perbuatan buruk.

Awalnya terpaksa atau dipaksa, tapi kalau berulang-ulang akan Ter-biasa.   Perbuatan baik dan buruk yang sudah terbiasa, akan menjadi karakter atau akhlak.  Namun, ekspresi wajah, kata dan sikap orang yang Ter-biasa itu masih apa adanya, memelas, pasrah dan penuh pertimbangan.

Ketiga, TER-Rasa. Bagian ini mulai sulit dijelaskan secara nalar (logika) karena sering kali tidak bisa dicerna oleh akal manusia, tapi mudah dipahami dengan rasa (hati), apalagi bagi orang yang sudah merasakan.

Ter-Rasa (Terasa) berarti merasakan kenikmatan dan kesenangan dalam menjalankan ibadah atau amal perbuatan. Melakukan amal karena cinta kepada Sang Maha Pencinta (ikhlas).

Mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka (QS.5:54). Mereka ridha dan Allah pun ridha kepada mereka (QS.98:7-8). Merasakan kenikmatan dalam amal kebajikan, sehingga senang melakukannya, ingin berlama-lama, tidak peduli cuaca, jarak, biaya.

Rela berkorban agar bisa menikmati kenikmatan ibadah dan larut dalam pelukan cinta Ilahi. Orang yang menunaikan haji misalnya, larut dalam kenikmatan spiritual di tengah panas terik, berdesakan bahkan rela berkorban nyawa.
Terkadang derai air mata pun berurai karena bahagia tiada terkira. Eskpresi wajah, kata dan sikap orang yang melakukan sesuatu dengan Terasa sangat berbeda dengan dua sebelumnya. Mereka tampak ceria, tersenyum, berbunga-bunga dan bahagia. Nikmat !

Video Kristenisasi di Tengah Penderitaan Muslim Syiria


Jumat, 26 Juli 2013

Al Qur'an dan Lailatul Qadr

Khutbah Jumat Masjid "Baiturrahim" Lingkungan Pejarakan
oleh: Usman Jayadi


Hadirin Rahimakumullah
Ramadhan dengan beraneka kebaikan dan keberkahannya masih menghiasi hari-hari kita dan tidak lama lagi, bulan mulia ini akan segera berlalu dari kegembiraan kita. Oleh karena itu, Melalui mimbar yang mulia ini, saya mengajak kepada kita semua marilah kita syukuri nikmat umur yang Allah berikan kepada kita dengan memperbanyak amal dan ibadah sempurna kepada Allah SWT. Selanjutnya, saya mengajak kita semua untuk terus menerus meningkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. dan meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Karena hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita akan mengalami peningkatan dan perbaikan.

Hadirin Rahimakumullah
Kalaulah Al-Qur’an itu tidak diturunkan pertama kali di salah satu malam dari bulan Ramadhan, maka malam tersebut dan bahkan bulan Ramadhan tidak akan mengandung keberkahan dan kebaikan seperti yang dijelaskan dalam banyak hadist dan ayat Al-Qur’an. Sebab, rahasia utama di balik keberkahan Ramadhan itu adalah Al-Qur’an. Sebagai Muslim, kita wajib mengimani, mengambil, mempelajari dan mengikuti penyebab keberkahan itu sendiri, yakni Al-Qur’an Al-Mubarok. Karena Al-Qur’an adalah kitab yang penuh berkah seperti yang dijelaskan dalam surat Al-An’am ayat 155 :

Dan ini adalah Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan yang diberkahi, maka ikutilah ia dan bertakwalah (kepada Allah), dijamin kamu mendapat rahmat-Nya (QS. Al-An’am (6) : 155]

Kaum Muslimin Rahimakumullah...
Untuk membuktikan betapa berkahnya Al-Qur’an itu, mari kita lihat sejenak sejarah bangsa Arab, khususnya yang tinggal di kota Makkah dan Madinah. Saat Al-Qur’an diturunkan, bangsa Arab adalah bangsa yang terpecah belah karena bangga dengan suku, keturunan dan status sosial yang diciptakan tradisi nenek moyang mereka. Kehidupan mereka sangat primitif, barbar dan brutal. Sejarah mencatat, sebelum mereka mendapatkan keberkahan Al-Qur’an mereka terkenal dengan sebutan masyarakat jahiliyah.

Pengertian masyarakat jahiliyah ialah masyarakat yang belum mengenal dan belum dapat membedakan antara al-haq dan al-bathil, antara iman dan kufur, antara tauhid dan syirik, antara kebaikan dan keburukan, antara manfaat dan mudharat, antara dosa dan pahala, antara dunia dan akhirat, antara syurga dan neraka dan bahkan antara Tuhan Pencipta dan hamba yang dicipta. Sebab itu, mereka dengan mudah terjebak melakukan berbagai kejahatan, sejak dari kejahatan ekonomi, moral, kemanusiaan, sampai kejahatan hukum dan ketuhanan. Pantaslah Umar Ibnul Khattab menggambarkan masyarakat jahiliyah itu adalah masyarakat yang paling hina (adzallah qaum) di muka bumi.

Bandingkan dengan setelah mereka meyakini, menerima, membaca, memahami, mengikuti (mengamalkan) dan memperjuangkan Al-Qur’an sebagai the way of life / manhajul hayah / pedoman kehidupan, Terjadi perubahan mendasar dan drastis sehingga mereka mampu meninggalkan semua nilai-nilai keburukan dan hijrah kepada semua nilai kebaikan menurut Allah dan Rasul-Nya. Berbagai pujian dan stempel kebesaran dan kemuliaan untuk mereka pun datang dari langit atau wahyu. Di antaranya, mereka adalah sebaik-baik ummat yang pernah ditampilkan Allah di atas muka bumi ini.

Hadirin Rahimakumullah
Nuzulul Qur’an yang kita peringati setiap tanggal 17 Ramadhan ini paling tidak memberikan kita semua hikmah atau gambaran nyata bahwa Al-Qur’an tidak hanya menjadi kitab bagi kita selaku ummat Islam seperti kitab-kitab agama lainnya, melainkan juga menjadi pedoman terhebat, pedoman terutama dalam menjalani visi dan misi kehidupan ini.

Hadirin Sidang Jum’ah Rahimakumullah
Di sisa-sisa akhir Ramadhan yang mulia, tentunya kita semua selalu menunggu akan datangnya suatu malam yang menjadi tujuan Ramadhan semua orang yaitu Lailatul Qadr. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya  pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu  kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al Qadr ayat 1-5)

Surah Al Qadr adalah Surah ke 97 menurut urutannya di dalam Mushaf Al Qur’an. Surah ini ditempatkan setelah Surah Al ‘Alaq (Iqra’) yang menjadi Surah pertama diturunkannya Al Qur’an kepada Rasulullah SAW. Menurut para Ulama Tafsir, Surah Al Qadr diturunkan kepada Rasulullah jauh sesudah Surah Al ‘Alaq diturunkan yaitu setelah Rasulullah SAW berhijrah dari Makkah ke Madinah. Yang paling special dari Surah Al Qadr ini adalah penempatan urutannya dilakukan atas perintah Allah SWT dan dari urutannya tersebut ditemukan keserasian yang mengagumkan, yaitu kalau Surah Al ‘Alaq (Iqra’) Rasulullah SAW (dan kita ummat Islam) diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah Al Qur’an. Maka wajarlah jika Surah sesudahnya yaitu Surah Al Qadr berbicara tentang turunnya Al Qur’an dan kemuliaan malam tersebut.

Lailatul Qadr bukanlah hanya dongeng yang berisi cerita fisik membekunya air, heningnya malam, menunduknya pepohonan, dan lainnya sebagainya, melainkan Lailatul Qadr pasti ada di setiap Ramadhan dan berdosa bagi kita yang meyakini Al Qur’an tidak meyakini adanya Lailatul Qadr tersebut. Terdapat 3 ayat dalam Al Qur’an yang memperkuat tentang adanya malam Lailatul Qadr, yaitu  surah Al Qadr, QS. Ad Dukhan ayat 3, dan Surah Al Baqarah ayat 185.

Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr .

Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Ma adraka ma Al-Haqqah .. Ma adraka ma 'Illiyyun , dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Dari ketiga belas kali ma adraka itu ada tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariqMa adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr . demikian yang diungkapkan Prof. Dr. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al Qur’an”

Kalau dilihat pemakaian Al-Quran tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr yang menjadi pokok bahasan kita, kali ini.

Dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.

Secara gamblang, Al-Quran - demikian pula Al-Sunnah - menyatakan bahwa Nabi saw. tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi saw. sendiri. Sedangkan wa ma adraka, meskipun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw., Sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Itu semua berarti bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw., Karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.
Kembali ke pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan berbagai jawaban.
Kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
  1. Penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. 
  2. Kemuliaan . Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya.
  3. Sempit . Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. 

sehingga “Lailatul Qadr” diduga oleh Rasulallah datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul saw. menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan.

Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.
Hadirin Rahimakumullah

Dalam rangka menyambut kehadiran Laylat Al-Qadr itu yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja - bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, meskipun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci - namun, Nabi saw. selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah ia bertadarus dan merenung sambil berdoa.
Dan Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah: Rabbana atina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah wa qina 'adzab al-nar (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kesejahteraan dunia dan kebajikan akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kesejahteraan kehidupan di dunia dan di akhirat.

Oleh Karena itu hadirin Rahimakumullah, marilah kita songsong Lailatul Qadr yang sebentar lagi akan menghiasi Ramadhan kita dengan aktifitas ibadah yang dapat mendatangkan keridhoan dari Allah SWT, dan teriring doa semoga kita semua merasakan indahnya Ramadhan ini dengan penuh khusyu’ ibadah, rezeki yang tiada putusnya, do’a yang terkabulkan, harapan demi harapan menjadi nyata di depan mata kita, dan yang terpenting shalat kita, shadaqah kita, puasa kita diteri oleh Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘alamin!


Barakallahu li walakum fil Qur’anil ‘Adzim
Wanafa’anni waiyyakum  bima fiihiminal ayaati wadzikril hakim
Wataqabbalallahuminna waminkum
Tilawatahu innahu huwassami’ul ‘alim…

Kamis, 25 Juli 2013

Sebelum Ramadhan Pergi Meninggalkan Kita

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah, Waktu seperti begitu cepat berlalu. Kita kini telah berada di sisa-sisa penghujung Ramadhan. Shalat Jum'at kita kali ini adalah shalat Jum'at yang bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan 1434 H. di mana pada tanggal 17 Ramadhan inilah Allah SWT mewahyukan Al Qur’an pertama kali kepada Rasulullah SAW. Sekarang kita telah berada pada hari ke-26 Ramadhan, yang artinya tinggal beberapa hari lagi bulan suci ini akan pergi. Kalau kita perhatikan masyarakat di sekeliling kita, sebagian mereka bahkan telah disibukkan dengan hiruk pikuk Idul Fitri. Luapan kegembiraan sudah terasa. Mall-mall menjadi padat. Lalu lintas lambat merayap. Banyak rumah berganti cat. Baju baru dan makanan enak juga telah siap. Jika demikian gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak demikian dengan para sahabat dan salafus shalih. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan, kesedihan justru menggelayuti generasi terbaik itu. Tentu saja kalau tiba hari raya Idul Fitri mereka juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita miliki di masa modern ini. Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah, Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan hamper berakhir? Kita bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab. Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari Ramadhan akan pergi sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai keutamaannya Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan? Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan? Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi. Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan orangorang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi. Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah SAW bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan celaka. Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani) Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima. Wahai Rabb kami... terimalah puasa kami, shalat kami, ruku' kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan. Bahkan, konon, rasa khauf (takut) membuat mereka berdoa selama enam bulan agar amal-amal di bulan Ramadhan mereka diterima Allah SWT. Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya. Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah, Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika sebagian masyarakat, seperti dikemukakan di muka, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat asyik beriktikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para lelaki beriktikaf di masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya. Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini. Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam. Perbedaan tashawur dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan gnerasi kita saat ini. Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah di masjid-Nya, berduaan dan bermesraan dalam khusyu'nya shalat, tilawah, dzikir, dan munajat. Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah, Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan. Maka tiga atau tiga belas hari ke depan bisa kita perbaiki sikap kita. Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan sebelumnya. Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita evaluasi ibadah lainnya selama 17 hari ini. Lalu kita perbaiki. Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri'tikaf penuh waktu seperti para shahabat dan salafus shalih itu. Namun jangan sampai kita kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa beri'tikaf –lama atau sebentar- di masjid-Nya. Apalagi, dari semua hadits yang ada, hanya malam ke-27 yang disebutkan secara khusus sebagai malam lailatul qadar. Barangsiapa ingin mencarinya (lailatul qadar), hendaklah ia mencarinya pada malam kedua puluh tujuh. (HR. Ahmad, dishahihkan Al-Albani) Hadits qauli Rasulullah SAW itu diperkuat juga dengan atsar dari Ubay bin Ka'ab yang bersumpah bahwa lailatul qadar terjadi pada malam kedua puluh tujuh. Ubay (bin Ka'ab) berkata, "Demi Allah yang tiada tuhan melainkan Dia. Sesungguhnya ia terjadi di bulan Ramadhan. Dan demi Allah sesungguhnya aku mengetahui malam itu. Ia adalah malam yang Rasulullah memerintahkan kami untuk qiyamullail, yaitu malam kedua puluh tujuh. Dan sebagai tandanya adalah pada pagi harinya matahari terbit dengan cahaya putih yang tidak bersinar-sinar menyilaukan." (HR. Muslim) Dalam malam ke-27 maupun malam lain di sepuluh hari terakhir Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya: Dari Aisyah RA berkata : "Rasulullah SAW jika telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggang". (Muttafaq 'alaih) Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama 26 hari ini diterima, begitu pula tak ada jaminan apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih sungguh-sungguh kepada-Nya.

Rabu, 24 Juli 2013

SEDEKAH YANG PALING BESAR PAHALANYA

Suatu ketika ada seseorang yang datang kepada Nabi SAW seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Lalu, beliau menjawab, “Bersedekah selama kamu masih sehat, bakhil (suka harta), takut miskin, dan masih berkeinginan untuk kaya. Dan, janganlah kamu menunda-nunda sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan maka kamu baru berkata, 'Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian', padahal harta itu sudah menjadi hak si fulan (ahli warisnya).” (HR Bukhari dan Muslim). Salah satu pelajaran yang terkandung dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah di atas adalah anjuran kepada kita untuk bersegera bersedekah dan melakukan amal-amal baik lainnya. Tegasnya, berbuat baik itu jangan ditunda-tunda, harus segera dilaksanakan. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam al-Baqarah (2) ayat 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.” Dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda, “Perlahan-lahan dalam segala sesuatu itu baik, kecuali dalam perbuatan yang berkenaan dengan akhirat.” (HR Abu Dawud, Baihaqi, dan Hakim). Bila kita menunda-nunda amal kebaikan bisa menjadikan amal baik yang akan kita lakukan itu tidak terlaksana. Itu karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput diri kita. Boleh jadi karena menunda-nunda amal, ajal keburu menjemput diri kita sehingga kita tidak sempat melakukan amal baik yang telah kita niatkan. Selain itu, bila kita menunda-nunda amal baik bisa menyebabkan niat kita menjadi berubah karena ketika kita menunda-nunda berbuat baik sama dengan membuka kesempatan pada hawa nafsu dan setan untuk mengganggu dan menggoda diri kita. Karena, hawa nafsu dan setan senantiasa mengajak kepada keburukan dan menghalangi kita berbuat kebaikan. Allah berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya, Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yusuf [12] : 53). Dalam ayat lain disebutkan, “Dan, sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS Az-Zukhruf [43] : 37). Untuk itu, bila kita mempunyai niat berbuat kebaikan hendaknya bersegera melakukannya agar kita segera memperoleh kebaikan dan sebagai upaya kita menyempurnakan kebaikan yang kita lakukan. Di dalam atsar Abdullah Ibnu Abbas, dikatakan, “Tidak sempurna kebaikan kecuali dengan menyegerakannya karena jika disegerakan hal itu akan lebih menyenangkan pihak yang berkepentingan.” Akhirnya, mari kita renungi sebuah kisah sebagai ibrah dan mauizdah bagi kita untuk menyegerakan setiap kebaikan yang telah kita niatkan. Dikisahkan, “Seorang saleh yang sedang berada di kamar mandi pernah memanggil budaknya dan menyuruhnya untuk memberikan sedekah kepada seseorang. Maka, budak itu berkata kepadanya, 'Mengapa tuan tidak bersabar dulu, hingga tuan keluar dari kamar mandi?' Dia menjawab, 'Saya mempunyai niat untuk berbuat baik dan saya takut niat itu berubah. Oleh karena itu, begitu mempunyai niat, saya segera mengikutinya dan melaksanakannya.'” Wallahu'alam.

SALURKAN ZAKAT, INFAQ, DAN SHODAQOH ANDA KEPADA KAMI

Panitia Penerimaan dan Penyaluran Zakat, Fidyah, Infaq, dan Shodaqoh Masjid "Baiturrahim" Lingkungan Pejarakan, menerima dan menyalurkan Zakat, Fidyah, Infaq, dan Shodaqoh Anda, mulai tanggal 15 Juli sampai dengan 5 Agustus 2013. Sekretariat Panitia: MASJID "BAITURRAHIM" Lingkungan Pejarakan Jln. Gotong Royong, Lingkungan Pejarakan, Kelurahan Pejarakan Karya, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, NTB Contact Person: Usman Jayadi (08174752808) Muhammad Azuin (087865101122) Slamet Riyadi (087865693500) Abdul Wahab (081918437725) Mari Berbagi dengan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh

10 Adab Berdoa Kepada Allah

Imam al-Nawawi mengutip penjelasan al-Ghazali dalm al-Ihya menyebutkan sepuluh adab berdo’a, (kitab al-Azkar, Cet. Al-Haramain, Hal. 353-354) yaitu : 1. Menunggu waktu-waktu yang mulia, seperti hari Arafah, bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir dan waktu sahur 2. Mempergunakan kesempatan-kesempatan yang mulia, seperti ketika sujud dalam shalat dan seperti sesudah shalat 3. Menghadap kiblat, mengangkat tangan dan menyapu wajahnya dengan dua tangan ketika habis membaca do’a 4. Merendahkan suara antara jihar dan sirr 5. Tidak memberatkan diri dengan menggunakan sajak dalam berdoa. Sebaiknya berdoa dengan doa yang ma’tsur dari Nabi SAW 6. Merendahkan diri kepada Allah, khusyu’ dan lapang hati 7. Menjazamkan hati dalam berdoa, yakin dengan ijabah dan penuh harap 8. Sering dan berulang-ulang berdoa sampai tiga kali dan tidak merasa jenuh 9. Membuka doa dengan berzikir kepada Allah, yakni dengan memuji Allah dan shalawat kepada Rasul-Nya, kemudian menutup do’a dengan keduanya pula. 10. Taubat kepada Allah, mengembalikan hak-hak orang yang pernah didhalimi dan menghadap dengan sembah sujud kepada Allah.

Hadiah untuk Awwabin

Alquran tidak hanya memberikan tuntunan ibadah mahdhah, di dalam ribuan lebih ayatnya, kitab suci ini juga memberikan kabar gembira (basyiiran) dan juga peringatan (nadziiran). Salah satu dari kabar gembira itu ialah keni’matan yang tiada bandingannya, yakni surga untuk orang-orang yang ‘kembali’ pada-Nya. Dalam beberapa ayat, Allah menyebut orang-orang kembali (bertobat) dengan awwabiin, misalnya saja yang tertera di Qs Qaaf 32, “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya),” Tobat erat kaitannya dengan dosa yang diperbuat manusia. Permasalahannya ialah, karena manusia tercipta sebagai hamba-Nya yang lemah dalam menghadapi hawa nafsu, baik yang datang dari dorongan diri sendiri maupun orang lain, tak jarang ketika seorang hamba mencapai pertaubatan, maka ia kembali ‘dicoba’ oleh ujian yang lebih berat lagi, sebagai ujian keimanannya dari Allah. Al-Quran surah Ali Imran ayat 135 secara eksplisit mengungkapkan tentang orang yang ‘menganiaya’ diri sendiri. “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji (faahisyah) atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Qs Ali Imran: 135) Berbagai literatur tafsir, salah satunya Al-Mishbah, yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Sedangkan maksud dari menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil. Tentang dosa, Syekh Imam Al-Ghazali memberikan empat jenis godaan yang biasanya menimpa manusia yaitu dunia serta isinya, manusia, setan, dan hawa nafsu. Dan yang paling sulit dari keempat itu ialah mengendalikan hawa nafsu yang mengajak kepada keburukan. Dari bisikan hawa nafsu, jika seorang hamba gagal, bisa melahirkan serangkaian sifat cinta dunia serta dosa-dosa lainnya. Dan adakalanya, lanjut Imam Ghazali, manusia tergelincir kembali setelah melakukan pertaubatan, maka langkah yang tepat ialah ‘kembali bertaubat’ dan tidak henti-hentinya untuk memuhasabah diri. Ini berarti, dalam melakukan pertaubatan, dibutuhkan tidak hanya sekali. Dengan kata lain, taubat yang sebenarnya (taubat nasuha), membutuhkan keseriusan lahir batin agar tidak mengulangi dosa atau menjadi taubat yang tertolak. Sebisa mungkin, seorang hamba tidak ‘menyengja’ diri untuk kembali melakukan dosa. Dosa adalah hiasan kehidupan manusia yang karena Allah membekali kita dengan pikiran dan hawa nafsu—manusia terkadang bisa seperti malaikat jika ghairah ibadah sedang memuncak, namun dapat pula melakukan perbuatan syaithanniyah jika terus menerus menuruti hawa nafsu. Meski sudah dikategorikan Allah sebagai hamba yang (dhaif) dalam mengendalikan hawa nafsu, spirit taubat tak boleh padam. Karena, Allah tidak hanya mengganjar surga bagi awwabiin, namun juga hadiah berupa ‘doa’ dari ribuan malaikat-Nya agar Allah mengampuni semua dosa yang tak terhingga. “(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,” (Qs Mu’min: 7)

PENERIMAAN DAN PENYALURAN ZAKAT, FIDYAH, INFAQ, DAN SHODAQOH 1434 H

Panitia Penerimaan dan Penyaluran Zakat, Fidyah, Infaq, dan Shodaqoh Masjid "Baiturrahim" Lingkungan Pejarakan, menerima dan menyalurkan Zakat, Fidyah, Infaq, dan Shodaqoh Anda, mulai tanggal 15 Juli sampai dengan 5 Agustus 2013.

Sekretariat Panitia:
MASJID "BAITURRAHIM" Lingkungan Pejarakan
Jln. Gotong Royong, Lingkungan Pejarakan, Kelurahan Pejarakan Karya,
Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, NTB

Contact Person:
Usman Jayadi (08174752808)
Muhammad Azuin (087865101122)
Slamet Riyadi (087865693500)
Abdul Wahab (081918437725)

Mari Berbagi dengan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh